Dalam konteks kebangsaan, politik Muhammadiyah adalah politik nilai agar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bisa tegak dan diimplementasikan sebaik-baiknya. Muhammadiyah, meyakini eksistensi Indonesia akan terancam tanpa Pancasila dan UUD 1945. Hasil Sidang Tanwir di Semarang pada 5-7 Juli 1998 ketika itu memutuskan Muhammadiyah tetap akan berpolitik praktis sesuai keputusan Muktamar 1971 di Makassar. Namun Muhammadiyah membebaskan anggotanya untuk berpartisipasi atau memilih saat perhelatan partai politik di Indonesia.
Penelitian dan kajian yang dilakukan Nashir (2000), Jurdi (2005), Efendi (2014), Al-Hamdi (2018), dan Syaifullah (2019), ada beberapa fakta tentang kepemimpinan Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan tidak bisa melepaskan dirinya dari situasi politik di sekitarnya. Meskipun secara tegas menjaga diri dari politik praktis, sikap dan pandangan politik Muhammadiyah menjadi salah satu penentu nasib dan masa depan republik ini.
Kedua, gerakan politik Muhammadiyah adalah gerakan politik kultural di mana Muhammadiyah tidak terlibat secara aktif dalam struktur dan institusi-institusi politik maupun pemerintahan. Ini yang dalam pandangan Amien Rais disebut sebagai “politik adiluhung” (high politics) di mana Muhammadiyah tidak terjebak dalam politik kekuasaan maupun politik kepemiluan tetapi menjadi bandul penentu dalam momen-momen strategis kebangsaan.
Semoga tulisan sederhana dari penulis yang tak lebih hanya serpihan rengginang di Muhammadiyah ini bernilai manfaat dan mencerahkan. Hal ini semata-mata didorong oleh panggilan moral sebagai bentuk kecintaan yang tulus pada persyarikatan Muhammadiyah. Selamat Ber-MUSWIL, JAYA SELALU MUHAMMADIYAH.(*)