Reporter: Ogi Putra Gumai
Foto: Humas Bawaslu RI
www.tras.id- Ketua Bawaslu RI Abhan mengungkapkan, ada dua syarat utama yang harus terpenuhi agar penundaan Pilkada 2020 bisa berlangsung tak sampai tiga bulan, atau pemungutan suara pada 9 Desember 2020 dari sebelumnya 23 September.
Menurutnya, dua syarat tersebut adalah musibah pandemik covid-19 harus benar-benar sudah reda paling lama akhir Mei dan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) paling lambat akhir bulan April 2020.
“Dua syarat penting yang harus terpenuhi jika pilkada tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020. Pertama bangsa kita benar-benar sudah bersih dari virus corona. Dan yang kedua terbitnya Perppu karena tidak mungkin pilkada dipaksakan digelar tanpa dasar hukum yang kuat dan di tengah musibah virus corona,” katanya saat rapat melalui daring dengan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), Senin (27/04/2020) lalu.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat/Rapat Kerja Komisi II DPR medio April lalu, tercapai kesepakatan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan pelaksaanaan pemungutan suara berlangsung 9 Desember 2020. Hal ini merupakan salah satu opsi yang ditawarkan KPU.
Abhan mengatakan, penundaan Pilkada 2020 membuat terhentinya empat tahapan pilkada yang sedang berlangsung dan tersusun. Keempat tahapan tersebut, yaitu: pelantikan dan masa kerja panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit), dan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
“Ada empat tahapan tertunda. Kapan tahapan ini dimulai kembali? Tentu jika kedua syarat tersebut terpenuhi,” tegas mantan Ketua Bawaslu Jawa Tengah tersebut
Selain itu, dia mengkhawatirkan makin banyaknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), khususnya dari calon petahana apabila pemungutan suara pada 9 Desember. Dia beralasan, waktu yang belum terpaut lama dengan musibah pandemik covid-19 membuat calon petahana bisa memanfaatkan kampanye terselubungan dengan program bantuan sosial.
“Abuse of power dari petahana yang kita tidak inginkan. Bisa saja kampanye dibungkus dalam aksi-aksi kemanusian dari pemda. Misalnya membagikan bahan sembako, alat kesehatan atau hal lainnya yang dibutuhkan masyarakat saat pandemki covid-19,” ujar dia.
Abhan mengungkapkan, dalam situasi musibah covid-19, penyalahgunaan wewenang akan banyak hal terjadi di lapangan. “Sulit membedakan kegiatan kemanusiaan murni atau kegiatan kampanye yang kebetulan berasal dari petahana,” tutupnya.(*)