Advertisment Image

Bertindak

Oleh: Ronald Reagan/ Aktivis

If the consulate has been given to mee on the condition that I would endure (perferrem) all pangs (acerbitates), pains, and tortures (cruciatusque), I will bear (feram) them bravely and even gladly, provided ony through my labors (meis laboribus), dignity for you and salvation for the Roman People may be brought to birth
-cicero-
Catatan ini sebenarnya menjatwab saran refleksi pada tulisan Bung Muhammad Prihatno beberapa hari yang silam. Saran untung melihat ulang peristiwa reformasi yang terancam atau katakanlah telah dikorupsi oleh aktor-aktor politik dengan barisan oligarki yang memegang peran sponsorship.
Saya berani mengatakan bahwa kita tidak sedang mengalami krisis wacana perubahan. Malahan dari sisi ini kita mengalami surplus yang luar biasa. Konsep perubahan, metode-metode nya, sampai pada komparasi sistem antar negara, antar ideologi bukanlah sesuatu yang sulit kita temukan.
Luar biasa, Reformasi membawa kita menuju kegemilangan referensi. Kegemilangan studi. Semua sudah kita bentangkan anatominya di meja operasi laboratorium pengetahuan kita. Sel demi sel studi kita kupas. Komunis tidak lagi menjadi kalimat keramat. Kritik melintas bak arena pacuan kuda di dinding media sosial. Semua  bagian-bagian kuno/ bagian-bagian sakral sebuah negara, selama inj menjadi mitos telah menjadi meme.
Jadi apa sebenarnya persoalan yang menjadi momok, mengganggu mimpi indah penduduk republik ini? Bukankah semua urusan isi kepala sudah kita nikmati?
Baiklah saya memulai dari pernyataan bung Halid Saifullah ” Orang cerdas masih ada, orang kritis masih ada, tetapi berjuang dengan caranya masing-masing.
Berjuang masing-masing adalah tanda sekaligus gejala dalam mengukur bagaimana perubahan itu bisa meretas keseluruh bagian kehidupan. Setiap orang dalam kalimat masing-masing, telah masuk kedalam lorong egoisme. Dimana antar orang-orang baik sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Antar orang-orang kritis sama-sama dalam posisi kritis, antar orang-orang berintegritas sedang dalam perpecahan? Jadi bagaimana kita bisa menjadikan kegemilangan wacana ini menjadi satu lokomotif perubahan yang besar?
Ternyata urusan utama kita berpaut pada posisi bertindak. Kita tidak dibekali bagaimana melihat virtue. Asupan kita pada upaya bahwa saya telah in true, jadi tidak ada lagi persoalan jika saya in true. Lalu jika saya sendiri secara perspektif tidak mau menguji in true saya ini, tentu kita akan berperang kedalam logos  antar aktor.
Tindakan menempatkan kita pada posisi bahaya karena ketahuaan kita atau berlaku sebaliknya. Batas pengetahuan adalah pada batas ketahuan. Hukum tahu tidak bisa digeserkan lagi pada urusan bahwa saya menolak atau menerima. Hukum tahu bersandar pada tindakan-tindakan yang diambil.
Maka dalam setiap ketentuan atau hukum, utilitas sebagai beban yang dibawa, sebagai penentuan, apakah sesuatu itu berdasarkan pada kadar-kadar pengetahuan.
Dalam pandangan Imanuel Kant didalam Kaufman menegaskan makna tindakan sebagai bentuk imperatif kategori.  Bagi kant, Imperatif adalah kategori, jika menyangkut bukan masalah tindakan, atau hasil yang diinginkan. Tetapi bentuk dan prinsipnya yang merupakan bagian dari dirinya sendiri. Dia menegaskan bertindak hanya sesuai dengan apa yang dipahami, dan pada saat yang sama akan menjadi hukum yang universal.
Tindakan dalam hukum moral yang ditentukan oleh imanuel kant, melihat pada maxim, atau melihat dasar dari tindakan. Jadi tindakan disini adalah produk dari prinsip yang bekerja menentukan sejauh mana kegunaan tindakan itu bagi subjek.
Pada kajian altruisme, saat kita melihat pandangan Monroe. Tindakan baginya adalah kekhasan. Bagaimana motif dari tindakan itu berpengaruh pada apa yang dihasilkan. Bagi monroe tentu mengarah pada universal humanism.
Hal yang otentik yang ingin kita katakan bahwa pengetahuan buah utamanya adalah tindakan, pada sisi dampak yang timbul. Pengaruh subjektivitas tidak bisa kita lepaskan sebagai faktor penggerak utamanya. Hal yang singular namun secara purifikatif lebih menuju kebaikan,ketimbang prestasi yang ingin didapatkan.
Adalah beban bagi pengetahuan, beban bagi tindakan adalah pada faktor perubahan yang timbul. Secara otoritatif kita mengenal bahwa, kehendak bebas, melekat sebagai sifat bawaan manusia. Kalkulasi sebagai batas rigid dalam kita memahami upaya-upaya perbaikannya.
Kita bisa mengatakan bahwa setiap tindakan pasti berdampak pada perubahan. Karena energi penggerak perubahan adalah tindakan. Secara etis , pertaruhan antara sesuatu yang rasional dengan sesuatu yang irasional akan menjadi penghubung bagaimana kita menempatkan hasil tindakan muncul karena dimensi-dimensi individual, yang secara sosial dapat kita katakan berjarak antara, posisi sebagai seorang individu dan kondisi yang ada.
Kesalahan utama yang meletakkan posisi bertindak keluar dari jalur altruistik adalah gagal meletakkannya sebagai magnit dalam menangkap pesan-pesan diluar subjek, kemudia terlalu berpaut pada sisi self interest. Tidak berbuah kognitif.
Kita tidak dapat memahami secara baik fungsi pengetahuan yang kita miliki,  bagaimana kita merasa terikat secara batin terhadap suatu persoalan. Pengetahuan tentu bisa menjawab hal ini dalam kondisinya bertindak. Hal yang kita serap. Baik itu unsur teologi/iman, rasa persaudaraan, hubungan genealogi, kepatuhan terhadap pemahaman akan kehendak bebas, mengantarkan kita kepada sesuatu yang lebih berharga,ketimbang prestasi yang akan didapatkan.
Maka, dalam persoalan bangsa, keruwetan-keruwetan utamanya karena fungsi pengetahuan gagal tersublimasi saat bertindak. Seorang politisi berbuat karena self interesnya, kalkulasi rasio akan citra. Seorang ilmuwan bertindak bukan sublimasi nilainya, tetapi citra akademis serta unsur prestisius yang menanti.
Pengetahuan dalam bertindak secara altruistik  dia tumbuh sebagai buah yang bisa dinikmati oleh siapapun, walaupun dia sendiri tidak merasakan. Secara iman, ini adalah bimbingan ketauhidan bahwa perintah ikhlas disetiap bertindak. secara ideologis, ini adalah wujud dari kegunaan sistem nilai yang dipahami.
Jadi hal yang ingin saya ajukan sebagai kambing hitam terhadap kondisi sampai hari ini  adalah; kita bertindak atas nama perubahan, tetapi peleburan wacana antar aktor kedalam satu konsensus tidak sedang terjadi. Urusan perubahan yang kita bicarakan lebih menyempit keurusan taktikal,Isuistik semata.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *