Oleh : Benny Hakim Benadie*
Melihat profesi penulis, banyak ‘obsesi’ dibenak kita. Terkadang kita ingin pula menjadi seperti seorang penulis. Bisa dan pandai menulis berbagai bentuk dan sifat tulisan. Ingin rasanya mengepresikan semua yang ada dalam benak. Meskipun kita sadar, tak semua yang ada mesti dikuak.
Sebelum era digital, mungkin semua keinginan, ide itu hanya ada dan mengendap dalam khayal. Akibatnya, endapan berdampak pada konstruksi berfikir ekstrim.
Khayal yang sulit untuk diungkap, acap juga kali pula akan hilang sekejap saat tatkala kita abaikan. Itulah sifat ilham. Meskipun era dulu dan kini terjadi sedikit pergeseran kaedah dan norma penulisan, karena tujuan kepentingan, termasuk enggan berpengetahuan.
Pertanyaan yang terbetik, apakah jadi seorang penulis merupakan talenta? Mengenyampingkan kaedah dan norma yang sudah disepakati menurut disiplin ilmu pengetahuannya?
Tentu tidak. Dapat menulis merupakan upaya orang yang mau berfikir. Mau menulis opini, artikel atau apapun bentuk dan sifatnya dalam menulis, itu merupakan upaya dan karya intlektual. Dalam tulisanlah nantinya kita akan menemukan perbedaan antara scientist dan orang pada umumnya.
Hanya sedikit pihak saja yang mempelajari kaedah dan norma dari bentuk tulisan. Harapannya tentu, apa yang ada di benak kita, akan dapat kita tuangkan dan menjadi karya yang bermanfaat bagi orang lain nantinya.
Romantika
“Buat dia pusing, maka tak ada tulisan terpampang. Jangan buat dia sedih, akan tertoreh sebuah ceritera yang tersiar”. BHB
Apakah ada kalanya seorang penulis akan tertelan dalam kesepian? Hilang harapan. Hilang ditelan malam nan kelam?
Lumrah dan manusiawi banget. Itu bagian dari romantikan seorang penulis. Tertelan dalam kesepian bagi seorang penulis, itu malah menguntungkan. Dalam kesepian, seorang penulis dapat menulis berbagai bentuk karya tulisan, termasuk berbentuk karya sastra.
Hanya saat pusing, keruwetanlah yang dapat menghentikan jari jemari penulis. Tatkala sedih akan lahir karya tulisan kesedihan. Begitu juga saat riang. Tatkala lagi gandrung akan ilmu pengetahuan, maka lahirlah karya ilmiah popupler. Begitulah selalu, sesuai kondisi dan situasi jiwa Sang Penulis.
Kenapa acapkali penulis tertelan dalam kesepian? Bukannya karena tak ada ide ataupun inspirasi, melainkan saat semua ilham itu muncul, penulis tak dapat ‘mengungkirnya’, karena takut dan akan berbenturan pada kepentingan. Saat itu penulis akan diam, sembari menunggu momentum ‘aman’.
Karya Idealisme
Dengan karya tulis, apa yang sudah lampau, kini dan kepentingan ilmu pengetahuan akan tinggal tetap.
Peribahasa latin menyebutkan, “Verba volant, scripta manent”. Harfiahnya, “Kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap.” Kata yang terucap, didengar acapkali terlupakan, yang tertulis tinggal tetap.
Karya tulisan akan tetap dikenang, sementara Sang Penulis tak tinggal tetap. Hanya karya tulisannya mungkin dikenang, itupun bila tak digilas dengan peraturan rezim berkuasa.
Adakalanya Sang Penulis nantinya akan mendapat apresiasi, penghargaan, meskipun dalam bentuk ucapan, bukan tulisan.
Sebelum Tahun 70-an, apresiasi untuk sebuah karya jauh berbeda dengan era modernisasi digital saat ini. Apresiasi atau penghargaan itu kini minim bahkan sisi ekonomi tak menghasilkan nilai.
Seorang penulis harus duduk di lantai dingin, di meja reot untuk menuis karyanya. Tak ada kesempatan meninggalkan tempat untuk mencari uang, karena kuatir ‘roh penulisan’ akan sirna. Tulisan akan kering tak berjiwa.
Menulis itu ibarat candu. Di saat mendapat moment, maka jiwanya akan bergetar, tubuhnya akan menunjukan keresahan. Termasuk mendapat ilham yang sungkan atau tabu untuk dijadikan sebuah karya tulisan. Seadainya tak ada filter dalam mengemukankan sebuah ide tulisan, maka “alamat ilham terangkum, penulis dibunuh”.(*)
*Penulis adalah Dewan Pakar JMSI Provinsi Bengkulu