Ilustrasi send by FW Vox Populi Vox Dei
Oleh:
FW Vox Populi Vox Dei
(Pemerhati Kebijakan Publik & Politik Lokal Bengkulu)
Di tengah pusaran kasus dugaan korupsi pengelolaan aset PTM/Mega Mall yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi Bengkulu, dan telah menetapkan mantan Wali Kota Bengkulu Ahmad Kanedi sebagai tersangka, muncullah sebuah peristiwa yang mengundang tanda tanya: kunjungan Gubernur Bengkulu Helmi Hasan ke kantor Jaksa Agung RI.
Apakah ini hanya kunjungan biasa, sekadar silaturahmi antar lembaga negara? Atau ada aroma kepentingan yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik senyum formal dan jabat tangan persahabatan?
Pertanyaan itu wajar mengemuka, sebab publik tahu bahwa proyek PTM/Mega Mall tidak berhenti di masa Ahmad Kanedi. Proyek itu melintasi masa jabatan, dan pada satu titik, Helmi Hasan pun menjabat sebagai Wali Kota Bengkulu setelahnya. Jika Ahmad Kanedi kini sudah menyandang status tersangka, wajar jika sorotan kini mulai bergeser: bagaimana dengan para penerusnya? Apakah mereka benar-benar bersih dari urusan aset publik yang kini menjadi bancakan?
Bahwa Helmi Hasan belum dipanggil sebagai saksi atau diperiksa dalam kasus ini, adalah fakta. Tapi bahwa ia pernah menjabat dan punya posisi strategis dalam rantai kebijakan yang menyangkut PTM, juga tak bisa dipungkiri. Maka, ketika sang gubernur mendadak bertemu dengan Jaksa Agung RI, publik patut bertanya: ada apa?
Apakah ini bagian dari upaya diplomasi politik atau justru lobi hukum tingkat tinggi? Dalam bahasa hukum, tindakan seperti ini bisa jatuh ke dalam ranah intervensi proses hukum, bahkan obstruction of justice, jika terbukti dilakukan untuk membelokkan arah penyidikan.
Kita tahu, kejaksaan bukan lembaga politik. Tapi kejaksaan bukan pula lembaga yang imun dari tekanan politik. Jika Jaksa Agung memberi isyarat meskipun hanya dalam bentuk anggukan tak tertulis kepada Kejaksaan Tinggi Bengkulu agar “melunak”, maka kita tak lagi bicara tentang hukum yang berdiri di atas keadilan, tapi tentang hukum yang bisa dibeli, dinegosiasikan, bahkan dikendalikan.
Di sinilah publik harus melek. Kunjungan-kunjungan yang tampaknya biasa, sering kali adalah kode sunyi dari drama kekuasaan yang sedang dimainkan di balik layar. Keadilan bisa saja digadaikan dalam ruang pertemuan tertutup, di atas meja yang diselimuti senyuman dan seremonial formal.
Jika benar Helmi Hasan merasa tak bersalah dan tak terlibat, maka cara terbaik untuk menjawabnya bukan dengan diplomasi ke pusat, tetapi dengan bersikap terbuka terhadap pemanggilan Kejati Bengkulu. Sebab dalam negara hukum, tidak ada yang kebal. Tidak juga seorang gubernur.
Masyarakat Bengkulu berhak tahu: siapa yang sesungguhnya ikut bermain dalam penggelapan aset publik bernama Mega Mall itu? Siapa yang menikmati keuntungannya? Dan siapa yang hingga kini masih berlindung di balik kekuasaan?
Kalau hukum hanya berani kepada mantan, tapi ciut terhadap pejabat yang masih aktif, maka itu bukan hukum. Itu hanya sandiwara keadilan.(*)