Oleh: Elfahmi Lubis
Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu
KUHP baru mengatur tentang aturan hukum adat atau living law. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 2 dan 595.
Pada Pasal 2 ayat 1 dijelaskan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Kemudian Pasal 2 ayat 2 dijelaskan: Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Keberadaan pasal ini dalam KUHP, menimbulkan pertanyaan besar kalau begitu masih relevankah asas legalitas dalam hukum pidana ? Soalnya, jika merujuk pada asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang.
Dalam adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Hal ini menyatakan tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan undang-undang (nulla poena sine lege), tidak ada hukuman kalau tak ada perbuatan pidana (nulla poena sine crimine), tidak ada perbuatan pidana kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan undang-undang (nullum crimen sine poena legali). Asas ini juga merupakan dasar bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Selain itu keberadaan pasal living law dalam KUHP, telah merubah corak sistem hukum Indonesia yang sebelumnya berkiblat civil law dan juga mengakomodasi common law. Walaupun sebenarnya, Indonesia sejak dulu dalam praktek hukum mengkombinasikan kedua sistem ini. Tapi dengan pasal living law ini semakin meneguhkan kombinasi dan sinergi kedua sistem hukum tersebut diatas.
Pasal living law, juga menimbulkan kekuatiran masyarakat sipil terutama kelompok perempuan tentang potensi diskriminasi atas gender dalam penegakan hukum. Alasannya, saat ini masih banyak aturan adat berbasis kultural dan agama yang masih bias gender dan kental budaya patriarki. Dengan demikian, jangan sampai perbuatan tertentu yang secara norma dalam hukum positif tidak diatur, tetapi karena dianggap melanggar hukum kebiasaan (adat) membuat orang dipidana dan dikriminalisasi atas dalih melanggar living law. Oleh sebab itu pengaturan soal penerapan living law harus dikaji ulang, sehingga tidak menimbulkan justifikasi (pembenaran) untuk pemidanaan seseorang.
Konstitusi telah memberikan jaminan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan atas dasar apapun, termasuk yang dilakukan oleh negara melalui instrumen hukum. Sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 28 I dan 28 G ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945.
Meminjam istilah yang dikemukakan Prof. Sulistyowati Irianto, persoalan lain adalah ketika living law disamakan begitu saja dengan hukum adat, maka justru di situlah letak permasalahannya. Hukum adat bukanlah hukum yang membeku, tetapi mengalami pertemuan dengan hukum-hukum lain, bertransformasi melahirkan hukum “hibrida” yang selalu baru. Hukum adat bahkan menyebar jauh seiring dengan berpindahnya warga adat pendukungnya ke wilayah tanpa batas dan membentuk komunitas baru. Mereka mengkonstruksi identitas “bikulturalisme” di tempat baru. Di satu sisi tetap mengaktifkan nilai dan hukum adat lama terutama terkait peristiwa daur hidup: kelahiran, perkawinan, kematian, pewarisan, bahkan hubungan kepemilikan sumberdaya alam di kampung asal. Namun di sisi lain mereka juga mengadopsi beragam nilai, hukum, gaya hidup tempat tinggal baru.(*)