Pemilu di Indonesia pasca reformasi 1998 merupakan pemilu yang sangat rumit, baik dari aspek teknis penyelenggaraan, sistem pengaturan, maupun mekanisme penyelesaian sengketa. Akibatnya, penyelesaian sengketa Pilkada terkesan berbelit-belit, sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi pihak yang merasa dirugikan.
Hamdan Zoelva (2015) sebagaimana dikutip dari Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 3, menyatakan perubahan sistem pemilihan umum telah menyebabkan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam Pemilu menjadi rumit dan pelik. Hal ini disebabkan karena banyaknya lembaga yang diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa Pemilu dan Pilkada, sehingga terkesan tumpang tindih, memakan waktu yang panjang, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pilkada merupakan kontestasi politik yang menempatkan daulat rakyat dalam posisi tertinggi menentukan pemimpin daerah yang berkualitas. Robert A Dahl (1998) dalam bukunya “on democracy” mengemukakan hakekat demokrasi, salah satunya adalah pemilihan yang bebas dan fair. Selanjutnya, Miriam Budiardjo (2007) memaparkan bahwa pemilu yang bebas menjadi ciri demokrasi konstitusional adalah taat asas dan terbukanya mekanisme penyelesaian perselisihan yang timbul dari proses pemilihan, dan ini merupakan prinsip yang menjadi dasar dan wajib diterapkan dalam setiap hajatan demokrasi.
Merujuk pada ketentuan yang diatur UU Nomor: 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil/Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, dikenal beberapa jenis sengketa dalam Pilkada. Mulai dari sengketa administrasi dan proses, sengketa berkaitan dengan pelanggaran pidana pemilu, sampai pada sengketa perselisihan hasil pemilihan. Berkaitan dengan sengketa administrasi pemilihan diberikan mandat oleh UU menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), baik dalam bentuk sengketa administrasi pemilihan maupun sengketa proses. Namun begitu jika penyelesaian sengketa administrasi pemilihan yang dilakukan Bawaslu mendapat keberatan dari para pihak, maka diberikan ruang untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa administrasi pemilihan dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, dengan keputusan final tetap di lembaga peradilan.
lanjut hal…3