Advertisment Image

Diduga Ada Penyimpangan, Program RHL BPDAS Diadukan ke Polda Bengkulu

Pengurus Badan Peneliti Independen bersama anggota kelompok RHL saat memberikan keterangan pers pada wartawan. (*)

Reporter: Doni P
Editor: Dedi HP

BENGKULU, tras.id – Disinyalir banyak terdapat kejanggalan pada program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) seluas 420Ha di Kecamatan Air Nipis Kabupaten Bengkulu Selatan, membuat Badan Peneliti Independen (BPI) Perwakilan Provinsi Bengkulu mengadukan penangung jawab program Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) ke Polda Bengkulu.

“Kami sudah sampaikan surat resmi ke Polda Bengkulu. Dari data yang kami peroleh banyak sekali kejanggalan. Salah satunya pada realisasi P.0 para anggota kelompok tani yang menjadi sasaran program itu justru tak mendapatkan hak-hak mereka,” kata pengurus BPI, Syamsuyudi, SH pada wartawan Kamis (22/2).

Ia menduga ada permufakatan jahat antara penanggung jawab program RHL tersebut dengan para oknum di desa, sehingga mengakibatkan para petani yang tergabung dalam kelompok tani tidak mendapatkan hak-hak anggota dengan wajar.

Bahkan dari pengakuan ketua kelompok, bahwa dana program RHL itu sudah ditransfer ke rekening kelompok. Hanya saja, begitu selesai ditransfer maka dana itu langsung diminta lagi oleh oknum BPDAS.

“Pada tahap P.0 saja sudah seperti ini, anggaran yang digelontorkan untuk tahap P.0 ini sebanyak Rp 524juta. Kami menduga pada tahap P.1 tidak akan terlaksana, sehingga berpotensi merugikan negara. Kami berharap APH bisa mengusut masalah ini,” kata Syamsuyudi.

Sementara itu, salah satu anggota kelompok RHL Datar Tenam Desa Sukarami, Air Nipis, Bengkulu Selatan, Sulisman menjelaskan mereka sebagai anggota kelompok RHL tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan ataupun kegiatan lainnya pada program itu. Tiba-tiba mereka disuruh menanam durian, alpukat dan pinang. Sehingga program itu terkesan tidak transparan pada anggota kelompok.

“Dalam RAB banyak terdapat anggaran untuk kegiatan-kegiatan, namun kami sebagai anggota sama sekali tidak dilibatkan. Tiba-tiba saja disuruh menanam dengan upah tanam Rp200 ribu per hektar,” kata Sulisman.

Begitu juga dengan pembuatan pondok kerja, setiap kelompok hanya diberikan dana Rp 2,5 juta sedangkan dalam RAB tertera dana untuk pembuatan pondok kerja adalah Rp 9.7juta. Pun begitu pada peralatan kerja, seharusnya setiap anggota mendapatkan pisau dan linggis, namun peralatan kerja diberikan pada kelompok dan digunakan secara bergilirian.

Senada dengan itu, Ferman anggota kelompok RHL juga menjelaskan bila dirinya hanya menerima pestisida Diazon dan pupuk NPK Hibaflor. Sedangkan perlatan tanam yang tertera dalam RAB sama sekali tidak ia terima.

“Saya hanya menerima racun dan pupuk. Pernyataan ini juga saya buat secara tertulis dengan materai cukup. Sebab itu, kami minta masalah ini bisa diusut,” ujarnya.

Ia berharap pihak berwajib dapat mengusut tuntas masalah itu, sehingga apa yang menjadi hak anggota kelompok bisa mereka terima dengan wajar.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *