Oleh :
Agustam Rachman/Advokat
Kasus dugaan penyelewengan bantuan kemanusiaan oleh ACT yang lagi heboh, mengingatkan saya pada kejadian tahun 2000. Waktu itu sekretariat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Daerah Bengkulu ada di Jalan Cendrawasih Pasar Melintang Kota Bengkulu.
Ketika gempa Bengkulu 4 Juni 2000 pukul 22.28 WIB, esoknya secara spontan kawan-kawan mahasiswa mendirikan posko penggalangan dana di jalan Suprapto tepatnya di depan kantor Telkom.
Beberapa tenda dibangun di sana. Tapi posko itu tidak bertahan lama karena dirasa kurang efektif untuk penggalangan dana di jalanan untuk korban gempa yang membutuhkan lebih dari sekedar ‘uang receh’. Alhasil, sekretariat KIPP dijadikan posko bantuan gempa yang tenaganya kebanyakan mahasiswa Universitas Bengkulu.
Tidak bisa dihindari, rumah tua itu akhirnya penuh sesak dengan relawan dan barang bantuan untuk korban gempa, misalnya mie instan dan baju bekas layak pakai.
Ahmad Wali (sekarang dosen Universitas Bengkulu) mengalami kemalangan. Dia kehilangan jam tangan kesayangannya merk Casio. Kami tidak bisa menuduh siapa pencurinya sebab posko itu tiap hari ramai orang datang dan pergi.
Kami coba melakukan evaluasi atas beberapa pekerjaan sebagai relawan. Kebetulan waktu itu bantuan mulai berdatangan dari luar Provinsi Bengkulu. Kami putuskan relawan kami hanya berperan sebagai pendamping bagi pihak-pihak yang ingin membantu korban gempa.
Salah-satu pertimbangannya karena rata-rata relawan kami relatif mengenal medan bahkan termasuk medan pulau Enggano.
Jadilah waktu itu selain sebagai pendamping kami juga memberi masukan kepada pihak pemberi bantuan, daerah mana saja yang mendesak untuk diberi bantuan.
Tercatat beberapa lembaga bekerjasama dengan kami misalnya WALUBI dan MBI keduanya adalah organisasi Budha. Tokoh-tokohnya antara lain Romo Agam (pemilik bioskop Segara) dan Romo Jimi yang rumahnya didekat perumahan Polisi Militer di daerah Kampung.
Beberapa relawan misalnya Abdul Salim (sekarang Direktur PKBI Bengkulu) dan Santi EM Meri Melinda (sekarang bekerja di perusahaan Tambang) ‘beruntung’ mendampingi lembaga asing mengantar bantuan gempa. Sebab berkesempatan naik helikopter. Tentu pengalaman yang menyenangkan selain ‘mencemaskan’.
Atas semua pekerjaan itu kami tidak mendapatkan bayaran atau imbalan materi. Hanya yang saya ingat relawan kami sekitar sepuluh orang sempat nonton bioskop gratis milik Romo Agam.
Mahasiswa dari Jakarta juga banyak yang berdatangan membawa bantuan. Misalnya kawan-kawan aktifis Mahasiswa Universitas Nasional (Unas). Dipimpin Betrix (nama aslinya Hendra Hasanudin) mereka belanja barang di Bengkulu untuk selanjutnya bersama-sama relawan kami mengantar bantuan tersebut. Sampai sekarang saya masih berhubungan baik dengan Betrix.
Menjadi “pendamping” dan “pemberi masukan” menurut kami adalah pilihan tepat ditengah keterbatasan skill relawan yang minim pengetahuan akan mitigasi bencana.
Oya, sekitar empat bulan setelah gempa, ada kisah menarik. Tiba-tiba saya menerima SMS dari Bung Muslimin Bos Koran Semarak (sekarang berubah menjadi RB Media Group). Isinya ada laporan ke wartawan Semarak bahwa kami menggelapkan bantuan seng.
Tentu saya kaget, segera saya sampaikan info itu ke rekan-rekan. Ternyata benar di belakang kantor KIPP ada sekitar dua kodi seng yang memang belum sempat dibagikan (kantor KIPP sempat lama kosong akibat bentrok sopir angkot dengan polisi di lampu merah Kampung Bali, beberapa aktifis KIPP yang dituduh terlibat ditangkap dan dikejar aparat).
Tapi apapun motif pelapor ke wartawan itu kami harus mengucapkan terimakasih secara tulus.
Mungkin seng ini pemberian dari Bung Betrix dkk, sebab saya dengar waktu itu mereka membeli paku dan material lainnya untuk bantuan renovasi rumah korban gempa.
Kembali ke soal seng dua kodi tadi, kami memutuskan seng itu harus dibagikan dibagikan.
Seorang teman namanya Raden Adnan sekarang Dosen Senior di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Dharma Andigha Bogor mengusulkan supaya seng itu diserahkan ke rumah Suluk (tempat belajar tasawuf) di Desa Rajak Besi di kaki Gunung Bungkuk (sekarang masuk Kabupaten Bengkulu Tengah).
Usul itu kami setujui, sehabis dzuhur dengan mengendarai pick up yang kami sewa dari tetangga. Berangkatlah saya, Halid Saifullah (sekarang Ketua Bawaslu), Fitri (sekarang wartawan BE TV, Heri Purwo (almarhum) Danang Riyanto (sekarang Direktur Riset Lembaga Paskass) menuju lokasi.
Kami tiba sekitar pukul 15.00 WIB sore (waktu itu jalan di Bengkulu Tengah rusak parah walaupun menurut info terbaru seorang teman, kondisi jalan saat ini lebih parah karena angkutan batu bara).
Selesai menyerahkan bantuan seng, kami menuju rumah Raden Adnan di Desa Curup, selepas magrib dan setelah makan malam dengan menu spesial (ada lalap jengkol muda dan tempoyak) kami bergerak mendaki menuju punggung Gunung Bungkuk. Tujuannya bukan ke puncak, tapi kebun durian.
Dengan penerangan senter, satu jam perjalanan tibalah kami di kebun durian milik Raden Adnan. Sepanjang malam, kami tidak ada yang tidur semua sibuk ngobrol dan berebut mencari durian yang jatuh. Suasana riang dan gembira.
Setelah subuh kami pulang, masing-masing membawa dua durian ditangan kiri dan kanan.
Karena semalam sempat hujan, tentu jalan menjadi licin apalagi hari masih gelap. Hampir tiap sepuluh langkah ada yang jatuh terpeleset. Yang paling sering jatuh adalah Halid. Hampir saja durian ditangannya dilemparnya ke jurang karena jengkel dan putus asa.(*)