Advertisment Image

Amicus Curiae: Terobosan Hukum Hakim dari Perkara Richard Eliezer

Oleh :
Elfahmi Lubis
Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu 

Kita lupakan sejenak eforia dan hiruk pikuk sidang vonis Richard Eliezer. Saya ingin mengajak pembaca pada hal yang subtansi lebih dari sekedar berpolemik soal vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Richard. Ada hal yang luput dari perhatian publik dari persidangan Richard Eliezer, bahwa ada terobosan hukum luar biasa yang dilakukan oleh majelis hakim, dan ini menjadi awal yang baik bagi proses penegakan hukum ke depan. Untuk publik ketahui yang memberikan kontribusi besar bagi Richard Eliezer dijatuhi vonis minimum/ringan bukan semata-mata hakim percaya dan yakin dengan argumentasi hukum dari pledoi terdakwa/penasehat hukumnya. Tapi yang menyelamatkan Richard Eliezer dari vonis berat hakim setidaknya ada dua hal, yang saya sebut sebagai terobosan hukum luar biasa dalam sistem peradilan pidana kita. Pertama, adalah status Justice Collaborator (JC) sebagaimana diatur dalam UU LPSK benar-benar telah diakui keberadaannya dan dihargai dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian hal ini menjadi preseden baik bagi mereka yang mau bekerjasama sama dalam mengungkap dan membongkar kejahatan serius dan terorganisir. Dalam kasus Richard Eliezer, jelas sekali dalam pertimbangan maupun amar putusannya hakim menyatakan bahwa terdakwa merupakan JC yang telah bekerjasama dalam mengungkapkan kasus ini sehingga layak diberikan reward berupa hukuman paling ringan dari terdakwa lainnya. Belajar dari kasus Richard Eliezer ini maka diharapkan semakin banyak orang yang mau berkata jujur dan bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan serius.

Kedua, mungkin suatu yang baru, bahwa dalam pertimbangannya hakim secara tegas mengakui keberadaan AMICUS CURIAE, sebagai alasan meringankan hukuman bagi terdakwa Richard Eliezer. Dimana hal ini jarang sekali dilakukan oleh hakim-halim lain dalam pertimbangan putusannya dalam perkara pidana.

Sebagaimana diketahui bahwa jelang sidang vonis terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua, Richard Eliezer, muncul petisi dukungan dari 122 akademisi dan guru besar yang mengajukan amicus curiae. Keberadaan
amicus curiae atau sahabat pengadilan itu sifatnya bukan intervensi pihak eksternal kepada proses peradilan tapi sifatnya adalah dukungan moril agar hakim menggunakan nurani dan kejujurannya dalam memutuskan suatu perkara, tanpa takut diintervensi maupun intimidasi dari pihak manapun. Dengan demikian amicus curiae (sahabat peradilan) tetap menjaga independensi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Sehingga putusan hakim benar-benar berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang memberikan keadilan kepada semua masyarakat.

Merujuk dari berbagai literatur Amicus Curiae adalah sebuah istilah latin yang berarti “Friends of The Court” atau “Sahabat Pengadilan”. Hukumpedia menyebutkan bahwa amicus curiae sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan seperti derden verzet.

Praktik amicus curiae sebenarnya lazim dipakai di negara yang menggunakan sistem hukum common law, bukan civil law sebagaimana yang dianut oleh Indonesia. Namun, bukan berarti praktek ini tak pernah diterapkan di Indonesia. Dasar hukum diterimanya konsep amicus curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

KEMENANGAN KEJUJURAN

Suasana euforia berbalut emosi, simpati, dan histeria mewarnai atmosfir sidang vonis Bharada R di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hampir seluruh perhatian publik tanah air, tercurah pada sidang pidana ini. Mulai dari pejabat negara, praktisi, akademisi, kalangan profesional sampai rakyat jelata sepertinya larut dalam suasana sakral persidangan terdakwa Richard Eliezer. Kondisi ini bisa dimaklumi karena persepsi yang terbentuk di publik bahwa sosok Bharada R dianggap pembuka kotak pandora kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat, yang melibatkan petinggi Polri. Selain itu sosok Bharada R dianggap mewakili perasaan publik selama ini yang menginginkan tegaknya keadilan dan kesetaraan hukum. Bharada R juga dianggap mewakili emosi publik selama ini bahwa orang kecil selalu terkalahkan ketika berhadapan dengan hukum, apalagi melibatkan orang-orang yang punya kuasa, harta, dan tahta. Sosok bharada R telah menjadi simbol kemenangan sekaligus perlawanan orang kecil dalam memperjuangkan tegaknya keadilan hukum di negeri ini.

Walaupun diawal-awal mencuatnya kasus ink sempat terperangkap dalam circle skenario atasannya, namun Bharada berhasil keluar dari perangkap skenario dengan mengajukan permohonan justice Collaborator (JC) ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Disinilah babak baru kasus ini dimulai, satu persatu persatu kesaksian dan kejujuran Bharada R menguak fakta sebenarnya, sehingga tabir gelap mulai menjadi terang benderang. Puncaknya adalah penetapan tersangka Irjen FS, yang tanpa peran Richard yang didukung oleh atensi publik melalui sosial media, hal yang mustahil bisa terjadi. Semoga tulisan ini mencerahkan kita semua, selamat beraktivitas jangan lupa bahagia.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *