Sementara itu jika banjir yang terjadi saat ini karena kerusakan daerah resapan air (DRA), ini artinya berkaitan dengan aktivitas perumahan, pemukiman, dan pembangunan fisik. Dalam konteks ini juga ada andil negara/ pemerintah didalamnya, yaitu berkaitan dengan pemberian izin perumahan dan pemukiman, serta aktivitas pembangunan fisik lainnya. Apakah perizinan yang diberikan sudah merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada. Begitu juga dengan persoalan daerah aliran sungai (DAS) dan daerah ilir sungai (DIS), apakah negara dan pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya dalam program dan proyek naturalisasi sungai, merdeka sampah, pengerukan sungai, tanggul, dan sistem drainase.
Ada beberapa varian gugatan hukum yang bisa dilakukan warga terdampak banjir, diantaranya adalah mengajukan gugatan class action (gugatan kelompok) dan atau gugatan netizen lawsuit.
Class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dengan pengertian class action di atas, maka kerugian yang dimiliki masyarakat dari banjir yang melanda Kota Bengkulu dan daerah lain di luarnya dapat digugat. Persyaratan dan tata cara untuk melakukan class action sudah diatur secara rinci dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002.
Sementara itu, dalam Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana. Termasuk kegiatan melindungi masyarakat dari dampak bencana, menjamin pemenuhan hak masyarakat yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum, serta mengurangi risiko bencana. Jika ada sengketa terkait penanggulangan bencana itu, masyarakat dapat menyelesaikannya di luar atau di dalam pengadilan.
Pemerintah juga dapat digugat karena diduga melanggar UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang). Pasal 66 UU Tata Ruang menyatakan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Sedangkan yang dimaksud penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Negara juga dapat digugat karena dianggap melakukan kelalaian dengan batu uji pelanggaran UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berkaitan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam hal ini masyarakat bisa menggugat fenomena banjir sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah bisa dinilai tidak melakukan apa-apa sehingga banjir terus terjadi.
Mengenai pilihan forum gugatan, bahwa gugatan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah kini menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Hal ini merujuk UU No. 30/14 tentang Administrasi Pemerintahan yang mempertegas kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap segala segala perbuatan melawan hukum pemerintah (onrechtmatig oversdaad), baik yngg lahir dari penetapan administrasi (beschikking), maupun tindakan nyata (feitlijke handelingen) yg menimbulkan kerugian bagi seseorang, badan hukum perdata, dan masyarakat umum.
Rosa Agustina (2019) dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, menentukan 4 syarat kualifikasi melawan hukum. Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Kedua, bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Terakhir, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.(*)