Oleh : Elfahmi Lubis
(Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu)
Pemerintah sudah mengusulkan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masuk Program Legislasi Nasional Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada DPR RI dalam Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi pada 24 Agustus 2022 lalu.
Menariknya, RUU Sisdiknas ini akan dibahas dengan sistem Omnibus law. Di mana satu UU akan mengintegrasi, mengakomodasi, dan mensinkronisasikan banyak UU yang berkaitan dengan pendidikan. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Padahal MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait uji materi terhadap UU Cipta Kerja, dalam putusannya menyatakan “inkonstitusional bersyarat” karena dianggap cacat formil. Menurut putusan MK tersebut bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dengan sistem omnibus law bertentangan dengan konstitusi dan UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam tulisan ini saya tidak mengurai soal teknis formil pembentukan UU, tapi lebih menyoroti soal beberapa isu krusial dalam draf RUU Sisdiknas yang telah menimbulkan reaksi keras di kalangan pemangku pendidikan tanah air. Terakhir PB PGRI dalam siaran persnya menyatakan protes keras dan “penolakan” atas beberapa pasal dalam draf RUU Sisdiknas.
Ada beberapa isu krusial dalam draf RUU Sisdiknas yang mendapat “penolakan” dari masyarakat pendidikan. Yakni, hilangnya pasal yang mengatur tentang hak guru dan dosen mendapatkan tunjangan sertifikasi. Padahal sebelumnya di dalam UU Guru dan Dosen, dibunyikan secara jelas bahwa guru merupakan profesi dan oleh karena diberikan tunjangan profesi.
Hilangnya pasal pemberian TPG (tunjangan profesi guru) dalam draf RUU Sisdiknas telah menimbulkan keresahan di kalangan pendidik seluruh tanah air. Jika pemerintah tidak peka dan segera memberikan klarifikasi atas isu ini dalam draf RUU Sisdiknas, dikuatirkan akan menimbulkan penolakan secara meluas dan berdampak pada keberlangsungan dunia pendidikan.
Isu krusial lain dalam draf RUU Sisdiknas adalah “hilangnya” frasa pendidikan madrasah di dalam batang tubuh draf RUU Sisdiknas. Walaupun penjelasan Kemendikbud bahwa frasa madrasah tetap ada dalam draf RUU namun ditempatkan dalam bagian penjelasan. Padahal kita tahu berdasarkan putusan MK keberadaan bagian penjelasan pada suatu UU tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Karena kedudukan penjelasan dalam suatu UU adalah sebagai tafsir dari pembentuk UU.
Selain itu hilangnya frasa pendidikan madrasah dalam batang tubuh draf RUU Sisdiknas juga akan berimplikasi pada semakin menguat dikotomi sistem pendidikan nasional, membangun kesenjangan mutu pendidikan antara sekolah dan madrasah, dan dapat mengusik kesatuan bangsa. Untuk itu pelibatan semua pemangku kepentingan dan publik secara lebih masif dan terbuka bisa menjadi salah satu alternatif solusi untuk membangun dialog yang konstruktif. Bangunan dialog ini dapat menjadi wahana bersama untuk merumuskan RUU Sisdiknas dengan lebih partisipatif dan menghilangkan kecurigaan.
Dalam skema draf RUU Sisdiknas, juga muncul isu tentang penguatan wajib belajar. Di mana sebelumnya wajib belajar 9 tahun, maka dalam draf RUU ini wajib belajar menjadi 10 tahun. Dimana pendidikan pra sekolah menjadi bagian integral sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini wajib belajar 9 tahun merupakan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) sekarang dalam draf RUU ditambah pendidikan pra sekolah 1 tahun sebagai wajib belajar.
Sebenarnya, masih banyak isu krusial lain yang perlu ditelisik lebih cermat dalam draf RUU Sisdiknas. Namun sejauh ini hanya isu-isu krusial di atas yang mendapat atensi tinggi dari publik.(*)