Oleh Qolbi Khoiri*
Pesta demokrasi lokal (khususnya di Provinsi Bengkulu) yang sesaat lagi akan dimulai telah menampilkan berbagai wacana dan diskursus antar masyarakat. Kerap kali yang terjadi materi perdebatan adalah ‘siapa calon yang didukung’ dan ‘partai apa saja yang mendukungnya’, ‘berasal dari komunitas mana’ lalu ‘apa yang sudah dilakukannya’. Demikian fenomena yang akhir-akhir ini tampak ke permukaan.
Berbagai strategi dan taktik yang dilakukan oleh masing-masing calon kontestan pemilukada baik gubernur maupun bupati/walikota telah dan sedang dilakukan, masing-masing berkreasi menurut passionnya. Namun dari sekian banyak strategi dan taktik tersebut, terdapat model yang sama yaitu menggunakan media sebagai alat dalam upaya memperkenalkan ’sang bakal calon’.
Media-media tersebut sudah tampak berseliweran di mana-mana, ada yang memasangnya di billboard dengan simbol-simbol tertentu, ada yang memasangnya di tempat-tempat strategis, ada yang memasangnya di pohon-pohon, di kendaraan dan lain sebagainya. Tema-tema yang diusungnya pun beragam, serupa dengan tagline iklan-iklan produk-produk yang digunakan oleh beragam perusahan.
Sejak dibukanya kran demokrasi dengan sistem pemilihan langsung, fenomena ini sudah lazim ditemukan menjelang suksesi di berbagai tingkatan, tentunya hal ini merupakan langkah positif bagi ‘sang bakal calon’ untuk menunjukkan keseriusannya dalam mengikuti proses demokrasi ini. Sebab, pengadaan berbagai media sosialisasi tersebut tentunya tidaklah diperoleh dengan mudah, diperlukan sekumpulan biaya dan tenaga serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, untuk satu hal ini dapat diberikan apresiasi usaha keseriusannya.
Namun yang menjadi problem utama adalah, belum nampak pendidikan politik bagi masyarakat dalam rangka menentukan pilihannya, hal ini bisa dimulai dari kriteria-kriteria yang diimpikan terhadap profil dari masing-masing ‘bakal calon’ yang muncul ke permukaan. Justru yang terjadi saat ini adalah klaim keberhasilan yang tidak didukung data akurat, simbolisme dalam bentuk slogan yang tidak diikuti dengan narasi yang mencerdaskan.
Selain itu, masyarakat saat ini juga disuguhkan perang urat saraf antar masing-masing ‘bakal calon dan klannya’, seperti sebuah permainan di mana satu antar lainnya saling mengintip kelemahan dan mencari peluang justifikasi dan judgment yang diharapkan mengendorse kelebihan ‘bakal calon’ nya atau sebaliknya dalam rangka mendowngrade pesaingnya tersebut.
Oleh karena itulah, maka tulisan ini akan mencoba menginventarisir profil gubernur seperti apa sesungguhnya yang tepat bagi Provinsi Bengkulu, dan mudah-mudahan gubernur seperti inilah yang dinanti-nanti masyarakat selama ini.
Pemimpin dalam berbagai profesi, kedudukan dan tempat termasuk juga gubernur yang diharapkan tentunya adalah mereka yang memiliki pandangan jauh ke depan, ada harapan yang akan diwujudkan, dan juga dibutuhkan serangkaian gagasan dalam bentuk program-program nyata, dan lebih dari itu adalah keberanian untuk mengimplementasikan atau mengeksekusi program-program tersebut hingga dapat dirasakan oleh masyarakat, keberanian yang dimaksud tidak ‘grasa-grusu’ atau ‘asal jadi’, melainkan didasarkan pada kemampuan memahami dalam dimensi aturan yang berlaku berupa undang-undang dan aturan lainnya. Inilah kriteria pertama yang dinanti oleh masyarakat Bengkulu.
Kriteria tersebut, tentunya bertujuan untuk menghantarkan Provinsi Bengkulu menuju provinsi yang sejajar dengan provinsi tetangga seperti Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan serta Sumatera Barat. Jika dilihat secara nasional, tampak bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Bengkulu masih berada di urutan ke-6 termiskin, atau urutan ke 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Rata-rata kemiskinan Provinsi Bengkulu berada diangka 15,41 persen. Dilihat dari sisi ekonomi, Sutrisno Bachir menyatakan bahwa Provinsi Bengkulu berada di urutan paling bawah, hal ini disebabkan karena usaha industri masih sangat sedikit, investasi yang kurang maksimal dan potensi SDA dan SDM yang kurang dikelola secara efektif.
Selain itu, gubernur yang dinanti oleh masyarakat Bengkulu adalah sosok yang memiliki paradigma inklusif dan memiliki karakter pluralis, inklusif dalam arti bahwa sosok tersebut adalah yang mampu mengayomi heterogenitas masyarakat Bengkulu yang terdiri dari berbagai kelompok dan golongan, baik suku, ras, maupun agama. Hal ini penting, sebab Bengkulu merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, sosok yang dinanti adalah yang mampu mendedikasikan dirinya bagi semua kalangan, tidak terjebak pada patron kebenaran sektoral, berinteraksi dengan semua pihak dan terlibat secara aktif dalam menjembatani perbedaan demi kesatuan berbangsa dan bernegara. Hal ini mutlak dimiliki, sebab ia harus berada di atas semua golongan.
Selain itu, Gubernur Bengkulu masa depan yang ditunggu masyarakat adalah sosok pemimpin yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai lokal genius. Nilai-nilai dimaksud adalah yang berkenaan dengan tradisi yang bersifat lokalistik, hal ini dalam rangka memahami karakter masyarakat dan sumber daya lokal yang dapat membantu keberhasilannya dalam memimpin, yang akan dijadikan sebagai modal dalam rangka menemukan episentrum penghantar pada modernisasi dan kemajuan masyarakat menuju peradaban yang lebih baik.
Kriteria utama yang paling penting dimiliki oleh pemimpin adalah kemampuan untuk mengimplementasikan model kepemimpinan sinergitas, kepemimpinan sinergitas adalah kepemimpinan yang mampu merangkul setiap divisi atau bagian dari seluruh sumber daya manusia yang ada dalam wilayah kepemimpinannya. Model ini banyak diterapkan di organisasi modern, pemimpin adalah medium bagi kepentingan pada level bawah dan penyeimbang pada level atas. Artinya kepemimpinan sinergik adalah kepemimpinan yang mesti dimiliki oleh gubernur dalam rangka mendayagunakan dan menggerakkan setiap komponen di daerahnya dan memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikannya pada tingkat kebijakan pusat.
Di atas semua itu, sang gubernur pilihan adalah sosok yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam segala hal, terutama berkenaan dengan rekam jejak masa lalu. Ia adalah sosok yang tidak terikat pada kasus-kasus masa lalu, dan mampu membuktikan bahwa dirinya bersih dari semua aspek kepentingan, kemudian berkomitmen menjaga integritas setiap saat. Guna mewujudkan hal ini tentunya juga diperlukan kompetensi di bidang Hukum, paham dan mengerti mengenai regulasi sehingga tidak gegabah dalam mengeksekusi kebijakannya. Wallahu A’lam Bisshawab.
*Penulis adalah Ketua Program Doktor PAI berbasis Multikultural Pasca Sarjana IAIN Bengkulu