Oleh : Elfahmi Lubis
Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Trauma KUHP mungkin kalimat yang tepat menggambarkan kondisi psikologis publik saat ini, berkaitan dengan rencana pengesahan RUU KUHP menjadi KUHP. Suasana kebatinan publik ini bisa dipahami karena ketika bicara KUHP, maka yang terpikirkan semua kita bisa kena. Oleh sebab itu publik harus benar-benar ingin memastikan bahwa kehadiran KUHP baru bukan sebagai malaikat “pencabut nyawa” yang bisa mengancam setiap orang.
Saya sendiri berpandangan bahwa Indonesia memang sudah seharusnya memiliki KUHP sendiri sebagai pembaharuan total atas KUHP peninggalan kolonial. Secara subtansi KUHP yang berlaku saat ini sudah sangat usang dan memiliki keterbatasan dalam pengaturan berbagai tindak pidana yang semakin canggih dan modern. Akibatnya, terpaksa dibuat berbagai UU pidana yang bersifat lex spesialis di luar KUHP.
Menariknya, setiap muncul tindak pidana baru yang belum diatur maupun sudah diatur tapi belum memadai di KUHP, selalu dibuat UU pidana baru. Jadilah Indonesia mungkin sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki paling banyak produk hukum pidana di luar KUHP itu sendiri. Oleh sebab itu jangan heran akibat surplus regulasi pidana, dalam implementasinya seringkali antar satu regulasi pidana dengan regulasi pidana lain saling tumpang tindih dan bahkan tidak jarang juga saling bertentangan yang pada gilirannya menyebabkan ketidakpastian dalam proses penegakan hukum.
Pandangan saya bahwa sebenarnya KUHP yang ada sekarang sudah lama terdegradasi dengan munculnya UU pidana yang bersifat lex spesialis. Nyaris saat ini di KUHP hanya tersisa beberapa jenis delik pelanggaran dan kejahatan saja yang secara hukum masih memiliki eksistensi, selebihnya sudah di take over oleh UU pidana yang bersifat khusus. Melihat realitas ini, maka sudah semestinya kita memberikan ruang bagi kehadiran KUHP baru yang lebih responsif, progresif, dan modern.
Dengan catatan penting yang tidak bisa tawar menawar, bahwa terhadap pasal-pasal yang masih berpotensi subversif, mengekang kebebasan sipil, demokrasi, dan HAM harus disingkirkan jauh-jauh dari KUHP yang baru. Sepanjang KUHP masih berwatak “bengis” dengan kebebasan sipil, demokrasi, dan HAM
yang telah dijamin dalam konstitusi dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang sudah diratifikasi. Maka, sepanjang itu pula pemidanaan akan tetap menjadi pilihan utama negara dalam menegakkan tertib hukum dan sosial.
Hal ini sudah terbukti hampir seluruh produk hukum yang dibuat oleh otoritas negara selalu menyediakan pasal yang memuat sanksi pidana. Padahal saat ini dibanyak negara telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem penegakan hukum dengan seminimal mungkin mengurangi penerapan sanksi pidana. Hal ini jelas tidak sejalan dengan asas ultimum remedium yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia, yang menekankan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam proses penegakan hukum.(*)