Oleh:
Firnandes Maurisya
(Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi)
PANCASILA sebagai ideologi bangsa merupakan ekstraksi nilai-nilai luhur. Sebagai tatanan nilai, bangsa Indonesia sepatutnya menjadikan Pancasila sebagai satu satunya sumber dalam menentukan arah tindakan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membreakdwon Pancasila agar tercermin dalam kehidupan berbangsa. Hal ini dilakukan agar nilai-nilai Pancasila melekat dalam kepribadian bangsa Indonesia melalui internalisasi nilai-nilai. Pancasila merupakan pondasi utama Bangsa Indonesia, akan tetapi masalahnya apakah kemudian Bangsa Indonesia lantas menerima Pancasila sebagai sesuatu yang taken for granted (yang didapat begitu saja) tanpa pernah berupaya untuk manjadikan Pancasila sebagai teladan. Pancasila tidak dapat hanya diterima sebagai fakta sosial, Pancasila menuntut keterlibatan semua pihak agar nilai ini dapat terinternalisasi secara kaffah.
Sejak awal, proses internasiliasi nilai ini belum usai, Indonesia telah mengalami berkali kali pergantian rezim, akan tetapi semangat membangun bangsa dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila tak kunjung terlihat hasilnya. Praktek penyelenggaran pemerintahan jauh dari semangat nilai-nilai Pancasila, baik dalam mengelola negara ini ataupun dalam merespon persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat. Penyelenggara negara lebih memperjuangkan kepentingan-kepentingan ekonomi global daripada kepentingan rakyat. Produk produk pemerintah (hukum, ekonomi, politik) tak menunjukan bahwa sebenarnya Indonesia memiliki Pancasila. Hendaknya, Pancasila dan Hukum berjalan beriringan, keduanya harus mampu berada pada titik konvergensif agar kebijaksanaan dengan aturan aturan hukum muncul di jalur yang sama sehingga mengikis habis ruang ruang bagi kepentingan pragmatis elit serta kapital global.
Tulisan Syahrul Kinom, Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan, juga menyatakan bahwa filsafat ilmu dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan secara ilmiah yang bermuara pada melemahnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Melemahnya pemahaman dan penghayatan masyarakat dapat diatasi dengan melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Dalam kerangka ini, nilai-nilai Pancasila yang memiliki ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan dapat dikaji melalui filsafat ilmu.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat (epistimologi) pengetahuan, dimana objek materiilnya adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Secara sederhana filsafat ilmu adalah ilmu tentang ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan umat manusia (Syahrul Kinom, 2011). Filsafat ilmu merupakan satu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan falsafah yang menyimpan banyak pengetahuan. Pancasila dan Filsafat ilmu memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, Pancasila secara ilmiah mempunyai nilai-nilai yang positif dalam membentuk watak dan karakter bangsa.
Pancasila yang terdiri atas lima sila merupakan suatu sistem filsafat yang utuh antara satu bagian dengan bagian dalam satu kesatuan yang lain saling berhubungan dan saling mengkualifikasi. Kesatuan ini bukan hanya kesatuan formal logis saja, namun meliputi juga kesatuan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari sila-sila Pancasila. Pemikiran yang terkandung dalam Pancasila adalah pemikiran dasar tentang manusia dengan Tuhannya, tentang manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan masyarakat dan bangsa.
Secara ontologis, hakikat dari Pancasila adalah manusia. Sila-sila yaitu Berketuhan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan yang berkeadilan sosial pada hakikatnya merujuk pada manusia. Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak yaitu kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrati manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka secara hierarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (Notonagoro, 1975).
Secara epistemologis, hakikat dari Pancasila adalah pengetahuan. Pancasila telah menjadi ideologi dan keyakinan negara, sehingga unsur rasionalitas harus ada pada Pancasila dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan. Pancasila dalam epistemologis tidak dapat dipisahkan dengan ontologisnya, pengetahuan itu sangat berkaitan erat dengan konsep dasar tentang manusianya. Sebagai obyek pengetahuan, Pancasila meliputi sumber pengetahuan dan susunan dari pengetahuan. Sebagai sumber pengetahuan, Pancasila adalah nilai yang ada pada bangsa Indonesia dan nilai tersebut merupakan kausa materialis dari Pancasila. Sementara sebagai susunan pengetahuan, Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, susunan dan arti dari sila-sila Pancasila tersebut bersifat hirarkis, di mana sila pertama mendasari dan menjiwai dari empat sila lainnya, dan begitu dengan sila-sila berikutnya.
Secara aksiologis, kebermanfaatan Pancasila adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai di dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila, yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.
Berpijak dari ketiga kajian dalam filsafat ilmu tersebut, nilai-nilai di dalam Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan. Kita semua harus mengakui bahwa nilai-nilai kebijaksanaan yang terkandung dalam Pancasila telah gagal untuk dapat di internasilasi ke dalam bangsa (Pemerintah dan Masyarakat). Pancasila mengalami reduksi nilai, apakah itu direduksi atau tereduksi? Pancasila sebagai sumber dari segala sumber? Upaya-upaya epistimologis dan aksiologis haruslah terus diupayakan oleh semua pihak terkait, sehingga dapat dijadikan jembatan keterputusan antara Pancasila dan Bangsa.(**)
*Tulisan ini adalah catatan atas Jurnal Syahrul Kinom, Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009.
Khaidir Anwar, Sejarah dan Perkembangan Filsafat Ilmu, Fiat Justistia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7 No. 2, Mei-Agustus 2013.
Syahrul Kinom, Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan, Jurnal Filsafat Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2011.