Advertisment Image

Yayasan Pupa dan Bincang Perempuan Kenalkan Kekerasan Online

Reporter: Andreas Saputra
Editor : Dedi HP
www.tras.id – Yayasan Pusat Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (Pupa) bersama Bincang Perempuan, Sabtu (27/08/2022) mengenalkan jenis-jenis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) pada para jurnalis dari berbagai media di Provinsi Bengkulu.

Direktur Yayasan Pupa, Susi Handayani menjelaskan KBGO dan KSBE merupakan hal baru dalam tatanan hukum Indonesia,  yang diatur dalam UU nomor 12 Tahun 2022.

“Selama ini kita hanya kenal dengan kekerasan yang fisik. Nah sekarang sudah ada kekerasan secara online yang dilakukan seseorang menggunakan media teknologi dan elektronik. Jadi kawan-kawan jurnalis bisa memahami kasus-kasus yang ada dengan berpedoman pada UU 12 Tahun 2022,” kata Susi.

Jenis-jenis KBGO yakni gender trolling atau candaan yang bersifat seksis dan membuat korban tak nyaman. Stalking atau penguntilan secara online hingga membuat korban tak nyaman. Kemudian, Sextorition atau ancaman pada korban memaksa melakukan hubungan dengan mengirimkan video atau foto.

“Sedikitnya ada 8 jenis kekerasan berbasis gender online ini, mulai dari doxing, hacking, cyber grooming sampai pada morfing dan outing yang dapat merusak citra dan menimbulkan kerugian pada korban. Kemudian yang perlu dicatat adalah sering kali candaan seksis menjadi hal lazim di lingkungan kita. Nah saat korban merasa tidak nyaman dengan candaan tersebut, maka ia dapat melapor pada aparat penegak hukum,” jelas Susi.

Sementara itu Direktur Bincang Perempuan yang juga jurnalis senior, Betty Herlina menyampaikan materi seputar teknik penulisan berita bagi jurnalis, khususnya pada peliputan korban kekerasan. Ia memberikan beberapa contoh penulisan berita yang belum berpihak pada kesetaraan gender, bahkan lebih pada penghakiman perempuan sebagai korban.

“Perempuan yang menjadi korban kekerasan terkadang menjadi pihak yang dijustifikasi dalam penulisan berita. Kawan-kawan bisa membayangkan traumatik yang korban alami, mulai dari trauma saat kejadian, pada proses pemeriksaan oleh polisi, ditambah lagi penulisan berita yang boombastis,” kata Betty.

“Melalui pertemuan ini, kita sama-sama belajar menulis berita yang tidak hanya berpedoman pada KEJ, UU PPRA dan UU terbaru. Namun kita juga memahami peliputan korban kekerasan masuk dalam kategori mana,” tutupnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *