Oleh:
Elfahmi Lubis
(Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu)
Pernyataan politik SBY akan turun gunung pada Pemilu 2024 menimbulkan turbulensi, sert meningginya tensi politik tanah air. Warning SBY itu bukan tanpa alasan, presiden RI dua periode tersebut menangkap sinyal “tidak beres” dan ada potensi kecurangan dan ketidakadilan politik pada perhelatan demokrasi 2024, terutama dalam pemilihan presiden. Menurut penguasa Cikeas ini, ada upaya untuk memaksa agar Pilpres 2024 nanti hanya diikuti oleh 2 pasangan calon yang sudah didesain sedemikian rupa secara politik. Dengan demikian pasangan calon presiden dan wakil presiden dari kelompok yang mereka kehendaki saja bisa maju dalam proses pencalonan.
Desain itu dilakukan sebagai upaya menutup peluang Parpol yang saat ini berada di luar pemerintahan (baca oposisi), untuk mengajukan calon alternatif dalam bursa Pilpres. Soalnya, jika ada poros politik ketiga, bisa mengusung Capres dan Cawapres alternatif, secara kalkulasi politik membahayakan peluang dari poros politik pertama dan kedua. Oleh sebab itu tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain menutup rapat peluang parpol oposisi mengajukan kompetitor.
Dalam analisis saya, saat ini para elit politik sedang menabuhkan gendang permainan politik bersifat elitis yang disokong sebuah “kartel politik”. Pilpres hanya berupa orkestra belaka, dimana gendang dan tariannya sudah diatur sedemikian rupa oleh para “cukong.” Pilpres akan menjadi kompetisi yang penuh kepura-puraan, bak permainan sepak bola gajah dengan sistem pengaturan skor. Pilpres akhirnya hanya melahirkan presiden dan wakil presiden baru, tapi rezim tetap dikuasai oleh “oligarki” dan “kartel” politik yang memiliki watak sama.
Mengapa Capres/Cawapres alternatif yang dimotori oleh kekuatan politik oposisi sepertinya sengaja tidak diberikan ruang, jawabannya sederhana karena bisa menjadi ancaman besar secara politik dalam Pilpres 2024 nanti. Ketika calon alternatif diberikan ruang ikut kontestasi, maka potensi munculnya gelombang dukungan rakyat pada calon alternatif bisa menjelma menjadi tsunami politik yang mengancam kekuatan “oligarki.”
Mereka sudah membaca dan memetakan psikologi massa (baca rakyat), bahwa rakyat ingin perubahan kepemimpinan nasional dan pemerintahan yang lebih egaliter dan menjanjikan kesejahteraan, kerakyatan, serta keadilan. Dimana harapan itu tersaji pada calon alternatif diluar calon yang disajikan oleh kekuatan “oligarki.”
Kita berharap pada Pemilu 2024 mendatang menghasilkan kepemimpinan legislatif dan eksekutif yang berkualitas, yang hanya menghambakan dan mewakafkan dirinya semata-mata untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat harus dijawab dengan hadirnya pemimpin yang memberikan harapan dan kenyataan kesejahteraan.(*)